MUSEUM TSUNAMI ACEH
BANGUNAN seluas 2.500 meter persegi, megah dengan empat lantai itu bernama Museum Tsunami Aceh. Sang arsitek, Ridwan Kamil menamai disain rancangannya itu dengan Rumoh Aceh as Escape Hill.
Berada di Jalan Iskandar Muda, Kota Banda Aceh, museum ini menjadi salah satu objek yang wajib dikunjungi. Ia menjadi bagian penting untuk mengenang terjadinya bencana yang sangat dahsat di masa lampau.
Tiga tahun setelah tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, yang dikomandani Kuntoro Mangkusubroto menggelar lomba merancang museum tsunami. Rancangan Ridwan Kamil, yang kini Wali Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi pemenangnya.
"Emosi saya ikut teraduk-aduk, acapkali air mata saya tertumpah saat mengerjakan rancangan museum tsunami. Buat saya Aceh sangat istimewa," kata Kang Emil, sapaan karib Ridwan, dalam sebuah diskusi di Jakarta, tahun lalu. Ridwan menganggap Aceh sebagai rumah keduanya.
Mulai dibangun pada 2007, museum ini diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Februari 2009. Tiga bulan kemudian, museum resmi dibuka untuk umum pada 8 Mei 2009.
Tsunami, oleh para saksi korban atau penyintas digambarkan sebagai gulungan air laut yang menjulang tinggi dan gelap. Pengalaman inilah yang bisa dirasakan saat mengunjungi Museum Tsunami Aceh. Kala menjejakkan kaki menyusuri lorong sempit dan gelap dengan dinding air yang sesekali memercikkan air ke kepala dan tubuh, pengunjung diajak merasakan tsunami. Lorong tersebut adalah pintu utama menuju ke dalam museum.
Jalan landai di lorong itu berakhir pada ruang yang luas dengan atap tinggi. Di sana ada jajaran sejumlah podium yang menampilkan rangkaian foto Banda Aceh sesaat setelah dihempas air laut. Foto-foto Banda Aceh yang luluh lantak, para penyintas yang tengah menyelamatkan diri, kapal-kapal menyangkut di atap rumah, bisa menggambarkan betapa perihnya kejadian itu.
Dari ruang besar itu, kembali terdapat jalan sempit menanjak yang di bagian kirinya terdapat pintu masuk ke ruang berbentuk kerucut, yang dinamai Sumur Doa. Pada dinding ruangan tertera ribuan nama korban jiwa. Di puncak kerucut terdapat penutup tembus cahaya dengan tulisan Allah dalam aksara Arab. Ini melambangkan bahwa para korban yang meninggal dunia itu sudah kembali kepada Sang Khalik. Di ruangan inilah, pengunjung akan berdoa.
Keluar dari ruang kerucut, jalan menanjak mengitari kerucut. Ini adalah lambang bahwa para penyintas, korban yang selamat, masih harus berjuang untuk menyelamatkan diri, keluar dari pusaran air. Di ujungnya terpampang ruang yang terang dan luas, atap gantung di langit-langit tembus pandang, berbentuk menyerupai kapal. Di lokasi itulah, bendera dari sejumlah negara tergantung dengan tulisan "damai" dalam berbagai bahasa.
Di bagian bawahnya terdapat Jembatan Harapan yang melambangkan harapan hidup bagi warga Aceh. Ruang berikutnya adalah ruang pamer berisi gambar dan diorama. Masih di ruang yang sama, ada wahana simulasi gempa dan tempat pengunjung mempelajari sains terkait gempa dan tsunami.
Perjalanan berakhir pada ruang teater semi terbuka dengan tribun dan panggung tanpa dinding dan di seberangnya dikelilingi kolam ikan. Di sinilah pengunjung biasanya merenungi kembali, membayangkan betapa dahsyatnya dampak bencana alam yang menimpa Aceh, sekaligus mengubah wajah politik, sosial dan ekonomi Aceh.
Di lihat dari bawah, bangunan museum ini terlihat menyerupai kapal. Namun, atapnya sendiri dibuat bergelombang mirip ombak laut. Bangunan tinggi, empat lantai ini, oleh sang arsiteknya tidak hanya dirancang sebagai museum semata. "Ini juga sebagai tempat evakuasi, jika tsunami datang," papar Kang Emil.
Seorang ibu yang pekan lalu datang seorang diri ke museum tak mampu membendung air matanya, di akhir kunjungannya. Ia kehilangan dua anaknya, saat tsunami datang.
"Ini untuk pertama kalinya saya berani datang ke sini," ujar sang ibu. Ternyata tidak banyak korban selamat dari tsunami yang berani mengenang kembali kegetiran di masa itu.
GALERI MUSEUM TSUNAMI ACEH
~^*^*^*^~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar